Pada bulan Juli 2025, Bumi akan kembali mengalami fenomena astronomi tahunan yang disebut Aphelion. Ini adalah momen ketika planet kita berada pada titik terjauh dalam orbitnya dari Matahari. Fenomena ini seringkali memicu rasa penasaran dan tak jarang dibumbui oleh misinformasi mengenai dampaknya terhadap suhu di Bumi.
Menurut data astronomi, puncak fenomena Aphelion pada tahun 2025 akan terjadi pada Jumat, 4 Juli 2025, sekitar pukul 02:54 WIB. Pada saat itu, jarak antara pusat Bumi dan pusat Matahari akan mencapai sekitar 152,1 juta kilometer.
Apa Sebenarnya Fenomena Aphelion Itu?
Secara sederhana, Aphelion adalah kebalikan dari Perihelion, yaitu saat Bumi berada pada titik terdekatnya dengan Matahari. Terjadinya kedua fenomena ini disebabkan oleh bentuk orbit Bumi yang tidak melingkar sempurna, melainkan sedikit lonjong atau elips.
Johannes Kepler, seorang astronom Jerman, pada abad ke-17 menemukan bahwa planet-planet bergerak dalam lintasan elips mengelilingi Matahari. Akibatnya, ada satu titik di mana planet berada paling jauh (Aphelion) dan satu titik di mana ia paling dekat (Perihelion). Fenomena Aphelion selalu terjadi pada awal Juli setiap tahunnya, sementara Perihelion terjadi pada awal Januari.
Mitos dan Fakta: Apakah Aphelion Membuat Bumi Lebih Dingin?
Salah satu mitos yang paling sering beredar terkait Aphelion adalah bahwa fenomena ini akan menyebabkan penurunan suhu secara drastis di Bumi. Anggapannya sederhana: semakin jauh dari Matahari, maka akan semakin dingin. Namun, hal ini tidak benar dan telah berulang kali dibantah oleh para ahli dari lembaga seperti BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika).
Faktanya, pengaruh Aphelion terhadap suhu dan cuaca di Bumi sangatlah kecil dan nyaris tidak terasa. Perbedaan jarak sekitar 3% antara Aphelion dan Perihelion tidak cukup signifikan untuk menyebabkan perubahan iklim yang ekstrem.
Lalu, apa yang sebenarnya menyebabkan pergantian musim dan suhu dingin? Faktor utamanya adalah kemiringan sumbu rotasi Bumi sebesar 23,5 derajat. Kemiringan inilah yang menyebabkan belahan Bumi yang berbeda menerima jumlah sinar matahari langsung yang bervariasi sepanjang tahun.
Pada bulan Juli, saat Aphelion terjadi, belahan Bumi utara sedang condong ke arah Matahari. Akibatnya, mereka mengalami musim panas dengan hari yang lebih panjang dan suhu yang lebih hangat. Sebaliknya, belahan Bumi selatan, termasuk sebagian besar wilayah Indonesia yang berada di bawah garis khatulistiwa, sedang menjauhi Matahari dan mengalami musim dingin atau musim kemarau dengan suhu yang cenderung lebih sejuk.
Suhu dingin yang biasa dirasakan di beberapa wilayah Indonesia pada pertengahan tahun lebih banyak dipengaruhi oleh hembusan angin muson timur (Monsun Australia) yang membawa massa udara kering dan dingin dari benua Australia yang sedang mengalami musim dingin.
Kesimpulannya, fenomena Aphelion adalah peristiwa astronomi yang menarik namun tidak perlu dikhawatirkan. Ini adalah pengingat akan keagungan mekanika alam semesta dan bukan pertanda datangnya cuaca ekstrem.